BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Lingkungan merupakan salah satu unsur/komponen pendidikan. Lingkungan
itu bermacam-macam yang satu dengan yang lain saling pengaruh-mempengaruhi
berdasarkan fungsinya masing-masing dan kelancaran proses dan hasil pendidikan.
Sedangkan pendidikan adalah upaya yang memang secara sadar terencana yang
dilakukan melalui proses untuk mengembangkan potensi dasar secara jasmani dan
rohani agar bisa menggapai segala tujuan. Sebagaimana pendidikan umumnya, kita
mengetahui bahwa pendidikan merupakan suatu kegiatan yang universal dalam
kehidupan manusia, baik dalam lingkungan keluarga yaitu orang tua sebagai
pendidik di dalam keluarga dan guru di lingkungan sekolah.
Pengaruh serta timbal balik pendidikan di sekolah, keluarga, dan
masyarakat sangatlah penting karena itu sangat menentukan kejiwaan serta
tingkah laku anak didik dalam kehidupan sosial masyarakat. Pemahaman peranan
keluarga, sekolah dan masyarakat sebagai lingkungan pendidikan akan sangat
penting dalam upaya membantu perkembangan peserta didik yang optimal. Utamanya
pemahaman itu mengenai keterkaitan dan saling pengaruh antar ketiganya dalam
perkembangan manusia. Sebab, pada hakikatnya peranan ketiga pusat pendidikan
itu selalu secara bersama-sama mempengaruhi manusia.
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manuia.
Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia
menurut ukuran normatif. Disisi lain proses perkembangan dan pendidikan manusia
tidak hanya terjadi dan dipengaruhi oleh proses pendidikan yang ada dalam
sistem pendidikan formal ( sekolah ) saja. Manusia selama hidupnya selalu akan
mendapat pengaruh dari keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Ketiga
lingkungan itu sering disebut sebagai tripusat pendidikan. Dengan kata lain
proses perkembangan pendidikan manusia untuk mencapai hasil yang maksimal tidak
hanya tergantung tentang bagaimana sistem pendidikan formal dijalankan. Namun
juga tergantung pada lingkungan pendidikan yang berada diluar lingkungan
formal.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
Latar Belakang Masalah yang diuraikan diatas kita bisa menarik rumusan masalah
nya sebagai berikut :
1. Apa
definsi dari Lingkungan Pendidikan
2. Jelaskan
mengenai Lingkungan Pendidikan Keluarga?
3. Jelaskan
mengenai Lingkungan Pendidikan Sekolah?
4. Jelaskan
mengenai Lingkungan Pendidikan Masyarakat ?
1.3
Tujuan
Penelitian
Makalah
ini disusun oleh penulis dengan tujuan pembaca dapat mengetahui apa konsep
Lingkungan pendidikan , Definisi Lingkungan Pendidikan dan mempelajari
jenis-jenis tripusat pendidikan yaitu Lingkungan Keluarga, Sekolah ,Masyarakat
.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan merupakan suatu
komponen sistem yang ikut menentukan keberhasilan proses pendidikan. Pernyataan
ini emperoleh dukungan teoritis maupun empiris oleh pakar pendidikan.
Lingkungan secara umum diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lainnya. Lingkungan drngan pengertian demikianlah dipilah menjadi
lingkungan alam hayati, lingkungan alam non hayati, buatan dan lingkungan
sosial.
Sedangkan lingkungan pendidikan dapat
diartikan sebagai berbagai faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap praktek
pendidikan. Lingkungan pendidikan dapat pula diartikan sebagai berbagai
lingkungan pendidikan tempat berlangsungnya proses pendidikan, yang merupakan
bagian dari lingkungan sosial.
Dengan mengacu pengertian itu, lingkungan
pendidikan dipilah menjadi 3 yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga
lingkungan pendidikan tersebut dikenal dengan tripusat pendidikan at ada yang
menyebut tripusat pendidikan. (Ki Hajar Dewantara menyebut lingkungan
pendidikan yang ketiga sebagai perkumpulan pemuda).
Ketiga lingkungan pendidikan ini sering
dirancukan dengan pemilahan pedidikan yang dikembangkan oleh Philip H. Coombs yaitu pendidikan
informal, formal, dan non-formal. Menurutnya pendidikan informal adalah
pendidikan yang tidak terprogram tidak berstruktur, berlangsung kapanpun dan
dimanapun juga. Pendidikan formal adalah pendidikan terprogram, berstruktur,
dan berlangsung di luar persekolahan. Sedangkan pendidikn nonformal adalah
pendidikan yang berstruktur, terprogram dan berlangsung di luar persekolahan.
Selain itu konsep tripusat pendidikan
dapat dirancukan dengan jalur pendidikan (UU No.2 tahun 1989) yang meliputi
jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
2.2
Lingkungan Pendidikan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan
yang pertama dan utama. Disebut sebagai lingkungan atau lembaga pendidikan
pertama karena sebelum manusia mengenal lembaga pendidikan yang lain, justru
lembaga pendidikan inilah yang pertama ada. Selain itu manusia mengalami proses
sejak lahir bahkan sejak ada dalam kandungan pertama kali adalah keluarga.
Dalam kajian antropologis disebutkan
bahwa manusia mengenal pendidikan sejak manusia ada. Pendidikan dimaksud adalah
pendidikan keluarga. Pendidikan dimaksud berlangsung pada masyarakat masih tradisional.
Dalam masyarakat demikian struktur masyarakat masih sangat sederhana, sehingga
ruang lingkup kehidupan anak sebagian besar masih terbatas pada keluarga.
Fungsi keluarga pada masyarakat demikian meliputi fungsi produksi dan fungsi konsumsi sekaligus
secara absolut. Kedua fungsi ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak
selanjutnya.
Kehidupan masa depan anak pada
masyarakat primitif mudah diprediksi. Hampir dapat dipastikan bahwa kehidupan
gernerasi sang anak nyaris sama dengan pola kehidupan sang orang tua. Hal ini
karena kehidupan masa depan anak pada umumnya
tidak terjadi banyak perubahan
dari kehidupan orang tuanya. Sebagai contoh anak yang orang tuanya sebagai
petani hampir dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan menjadi petani. Kalau
orang tua anak tersebut sebagai tukang kayu, maka hampir dapat dipastikan bahwa
anak tersebut akan menjadi tukang kayu.
Kondisi ini muncul karena anak merupakan
bagian dari keluarga. Sementara dalam masyarakat tradisional upaya pemenuhan
kebutuhan seluruh anggota keluarga dikerjakan secara bersama-sama oleh seluruh
anggots keluarga tanpa pembagian kerja yang kompleks. Orang tua bertanggung
jawab penuh akan pendidikan anaknya. Tanggung jawab ini pada masyarakat
tradisional tidak akan selesai sampai anaknya telah menikah. Hal ini karena
seluruh anaknya akan menjadi bagian dari produksi keluarga besar orang tuanya.
Adanya berbagai tekanan dari luar dalam
bentuk modernisasi dan mobilitas sosial baik secara vertikal maupun horizontal,
fungsi kehidupan keluarga pun mengalami perubahan. Fungsi konsumsi keluarga
relatif tetap bertahan namun fungsi produksi mengalami banyak perubahan. Stiap
keluarga tetap memerlukan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, namun tidak dapat
disediakan sendiri. Dengan demikian keluarga telah mulai kehilangan fungsi
produksinya.
Perubahan fungsi ini berkonsentrasi
dengan perubahan struktur keluarga dan pola pendidikannya. Keluarga modern
cenderung terdiri atas anggota keluarga dengn jumlah yang kecil dipandang lebih
demokratis, yang masing-masing (tidak tahu persis sesuatu yang dilakukan oleh
anggota keluarga yang lain), dan cenderung tergantung pada pelayanan jasa dari
pihak lain. Dengan demikian dalam proses pendidikan anak tidak lagi sepenuhnya
tergantung pada pendidikan dari orang tuanya seperti pada keluarga tradisional.
Porsi pendidikan keluraga dari masyarakat modern cenderung berkurang. Sebagian
terbesar diambil alih oleh sekolah dan pendidikan dalam masyarakat lainnya
seperti teman sebaya, organisasi sosial, kursus-kursus, dan lain-lain.
Selain itu dalam sejumlah keluarga
“modern” mendelegasikan sebagian proses pendidikan anaknya kepada orang tua
yang digaji. Termasuk dalam kategori ini adalah para pembantu rumah tangga,
penunggu bayi atau anak, guru privat, dan lain-lain. Sejumlah ahli cenderung
memandang negatif fenomena ini. Menurut mereka fungsi-fungsi alami orang tua
lebih-lebih ibu tidak dapat didelegasikan kepada pihak lain.
Pendidikan keluarga disebut pendidikan
utama, karena di dalam lingkungan ini segenap potensi yang dimiliki manusia
terbentuk dan sebagian dikembangkan. Bahkan ada beberapa potensi yang telah
berkembang dalam pendidikan keluarga. Padahal para pakar pendidikan umumnya
sepakat bahwa kemanapun pendidikan hanya pada batas potensi yang dimiliki
manusia.
Bahkan Drost secara ekstrim menyebut
bahwa pendidikan sekolah lebih banyak mengembangkan kemampuan akademis,
sedangkan pengembangan kepribadian merupakan tugas pendidikan keluarga. Dengan
demikian bagian pendidikan keluarga lenih utama daripada pendidikan sekolah.
Selain itu meskipun pada masyarakat
modern ini keluarga telah kehilangan sejumlah fungsi namun keluarga masih tetap
merupakan lembaga yang paling penting dalam proses sosialisasi seorang anak.
Karena keluarga yang memberikan setiap individu tuntunan serta contoh-contoh
sejak lahir sampai dewasa.
Dalam hal jumlah waktu, walaupun ada
variasi antar masing-masing orang, namun bagi sebagian besar anak manusia waktu
terbanyak untuk pendidikan adalah berada dalam keluarga. Variasi waktu ini
ditentukan oleh budaya, idealisme, status sosial dan lain-lain, dari
masing-masing keluarga. Sehubungan dengan itu, kurang tepat kiranya jika
berbagai kenakalan remaja oleh masyarakat ditimpakan seluruhnya pada sekolah.
Pendidikan kelurga dapat dipilah menjadi
dua yaitu pendidikan prenatal dan postnatal. Pendidikan prenatal atau
pendidikan sebelum lahir atau pendidikan dalam kandungan didasari suatu asumsi
bahwa sejak masa konsepsi manusia telah dapat memperoleh pendidikan. Dalam
pendidikan ini diyakini merupakan pendidikan untuk pembentukan potensi yang
akan dikembangkan dalam proses pendidikan selanjutnya. Wujud praktek pendidikan
prenatal cenderung merupakan kearifan masyarakat (berbagai “quasi-ilmu” yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat secara turun-temurun) yang sangat dipengaruhi
praktek-praktek budaya. Doa untuk si janin, neloni, mitoni, adanya sirikan
untuk membunuh makhluk hidup kecuali mnyebut si jabang bayi, dan lain-lain
merupakan wujud pendidikan ini dalam
budaya jawa.
Hal lain yang layak diperhatikan dalam
pendidikan prenatal ini adalah sedapat mungkin menghindari terjadinya kelahiran
anak yang tidak diinginkan (unwanted child). Anak-anak demikian menurut Retno
Srinignsih Satmoko akan mengalami berbagai kendala dalam pendidikan
selanjutnya. Munculnya kelahiran anak demikian tidak hanya monopoli pasangan
remaja pranikah. Banyak dari pasangan resmi yang mengalaminya, misalnya karena
jenis kelamin yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua, belum siap secara
ekonomi, kegagalan kontrasepsi, dan lain-lain.
Orang tua atau pengganti orang tua yang
menjadi pendidik dalam pendidikan keluarga. Orang tua dalam hal ini dikatakan
sebagai pendidik karena kodrati. Hal ini karena hubungan kependidikannya lebih
bersifat cinta kasih azazi dan alamiah.
Dasar tanggung jawab keluarga terhadap
pendidikan anaknya meliputi hal-hal berikut ini:
a. Motivasi
cinta kasih yang menjiwai hubungan orang tua dengan anak. Cinta kasih ini
mendorong sikap dan tindakan untuk menerima tanggung jawab dan mengabdikan
hidupnya untuk sang anak.
b. Motivasi
kewajiban moral, sebagai konsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya.
Tanggung jawab moral ini meliputi nilai-nilai religius spiritual untuk
memelihara martabat dan kehormatan keluarga.
c. Tanggung
jawab sosia; sebagai bagian dari keluarga, yang pada gilirannya juga menjadi
bagian dari masyarakat. (Noor Syam 1981).
2.3
Lingkungan Pendidikan Sekolah
Bertahun-tahun sepanjang rentang
peradabannya, pada awalnya manusia hanya mengenal pendidikan keluarga dan
pendidikan dalam masyarakat. Pendidikan dalam masyarakat pun hana dikenal
manusia secara informal. Hal ini terjadi pada saat manusia dalam kehidupan
primitif. Pada masyarakat demikian pendidikan informal dari orang tua dan
masyarakat dirasa cukup untuk bekal hidup dalam masyarakat bersangkutan. Kondisi
demikian dimungkinkan karena struktur sosial masyarakat belum kompleks,
sehingga ruang lingkup kehidupan anak sebagian besar masih dalam keluarga.
Seorang anak dalam masyarakat demikian, tidak memerlukan persiapan khusus untuk
mempelajari sesuatu dalam mempersiapkan kehidupan untuk masa dewasanya. Mereka
cukup belajar dari orang tua atau orang dewasa lainnya. Dalam proses pendidikan
yang dialami bersifat spontan tidak melalui proses perencanaan yang matang.
Oleh karenanya para pelaku pendidikan baik anak, orang tua atau masyarakat
tidak mmenyadari adanya proses belajar mengajar. Dengan mengacu pendapat
Margaret Mead yang dikutip Sastra Prateja pendidikan pada waktu ini disebut
paska-figuratif. Pendidikan paska-figuratif adalah pendidikan yang menekankan peserta
didik untuk meniru figur “pendidik”. Dengan demikian pendidikan sifatnya hanya
konservatif.
Setelah karena peradaban manusia, orang
merasa tidak mampu lagi untuk mendidik anaknya. Pada masyarakat yang semakin
kompleks dan terspesialisasi seorang anak memerlukan persiapan yang khusus
untuk memasuki usia dewasa. Persiapan ini memerlukan waktu yang khusus dan
proses yang khusus pula. Dengan demikian secara objektif orang tua memerlukan
lembaga lembaga tertentu untuk menggantikan sebagian fungsinya sebagai seorang
pendidik. Lembaga ini dalam perkembangan lebih lanjut dikenal dengan sekolah.
Secara hakiki sekolah tersebut bukan mengoper tugas orang tua sebagai pendidik
tetapi sekedar sebagai pelengkap pendidikan yang diberikan oleh orang tua.
Di Indonesia, sekolah pada awalnya
berupa pecantrikan. Peserta didiknya disebut cantrik. Pendidiknya disebut guru
atau suhu. Isi pendidikannya adalah agama (hindu dan budha), ulah kanuragan dan
jaya kawijayan (bela diri), kasusastraan, unggah-ungguh atau etika. Pecantrikan
pada awalnya hanya diperuntukkan bagi para keturunan bangsawan (priyayi), namun
setelah perkembangan lebih lanjut masyarakat jelatapun ikut mengembangkannya
dibantu oleh para pujangga bijak kerajaan. Pecantrikan yang demikian lebih
menekankan pendidikan ulah kanuragan dan jaya kawijayan dengan harapan mereka
dapat menjadi prajurit (termasuk golongan priyayi).
Setelah islam masuk ke Indonesia,
pecantrikan secara sinkretisme dikembangkan menjadi pondok pesantren dari kata
pondok pesantrian. Peserta didiknya
disebut santri dan pendidiknya disebut Kyai atau Nyai. Isis pendidikannya pada
awalnya tidak jauh berbeda dengan pecantrikan, yang berbeda hanya agamanya
islam. Perkembangan lebih lanjut, bukan berarti pecantrikan hilang. Pecantrikan
dimanfaatkan oleh kelompok “abangan”, sehingga ada semacam dikotomi antara
abangan dan santri.
Setelah orang barat masuk ke Indonesia,
sistem pendidikan ikut terpengaruh karenanya. Orang barat khususnya Belanda
memperkenalkan sistem pendidikan mereka. Sistem pendidikan ini lebih banyak
merasuk pada kalangan bangsawan dari Timur Jauh daripada rakyat jelata.
Sementara kaum populis tetap mengembangkan sistem pendidikan pondok pesantren
semakin mendapat tempat setelah orang-orang Indonesia mengembangkan faham
kebangsaan dalam rangka mengusir penjajah. Sementara itu istilah sekolah
nampaknya bersumber dari sitem pendidikan Belanda (School).
Dalam perkembangan lebih lanjut
pendidikan sekolah yang dikembangkan oleh pemerintah karena dianggap lebih
modern dan nasionalis (mampu menampung berbagai perbedaan faham, golongan,
agama, suku, dan lain-lain).
Seiring dengan perkembangan peradaban
manusia, sekolah telah mencapai posisi yang sangat sentral dan belantara
pendidikan manusi. Sekolah tidak lagi berfungsi sebagai pelengkap pendidikan
keluarga. Hal ini karena pendidikan telah berimbas pola pikir ekonomi yaitu
efektivitas dan efisiensi. Poa pikir efektivitas dan efisiensi ini telah
menjadi semacam ideologi dalam pendidikan.
Dasar pendidikan
sekolah akan pendidikan meliputi tiga hal, yaitu:
a. Tanggung
jawab formal kelembagaan sesuai dengan fungsi dan tujuan yang ditetapkan
menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku (perundangan dalam pendidikan);
b. Tanggung
jawab keilmuan berdasarkan bentuk isi, tujuan, dan jenjang pendidikan yang
dipercayakan kepadanya oleh masyarakat dan negara;
c. Tanggung
jawab fungsional adalah tanggung jawab profesional pengelola dan pelaksanaan
pendidikan yang menerima ketetapan ini berdasarkan ketentuan-ketentuan
jabatannya.
Tanggung jawab tersebut merupakan
pelimpahan sebagian tanggung jawab orang tua dan masyarakat dalam bidang
pendidikan.
2.4
Lingkungan Pendidikan Masyarakat
Menurut Soerjono Soekanto (1988), dalam
setiap masyarakat baik yang sederhana maupun yang komplek, terbelakang, atau
maju, pasti terdapat pranata-pranata sosial (social institutions). Kalau
dianalisis paling tidak ada 5 pranata sosial yang terdapat dalam sistem
masyarakat, yaitu:
1) Pranata
pendidikan
2) Pranata
ekonomi
3) Pranata
politik
4) Pranata
teknologi, dan
5) Pranata
moral atau etika
Meski
ada berbagai wujud dan intensitas masing-masing pranata sosial antar
masing-masing masyarakat, namun masing-masing pranata mempunyai tugas atau
fungsi yang kurang lebih sama untuk setiap masyarakat. Pranata pendidikan
secara umum mempunyai tugas dalam upaya sosialisasi, sehingga setiap warga
masyarakat mempunyai kepribadian yang mendekati harapan masyarakat
bersangkutan. Pranata ekonomi bertugas mengatur upaya pemenuhan kemakmuran
hidup sehingga masing-masing anggota memperoleh kelayakan secra ekonomis.
Pranata politik bertugas mnciptakan integritas dan stabilitas masyarakat.
Pranata teknologi berupaya menciptakan teknik untuk mempermudah kehidupan
manusia. Sedangkan pranata moral mengurusi nilai dan penyikapan atau tindakan
dalam pergulan di masyarakat.
Masing-masing
pranata sosial tersebut mempunyai hubungan interdependensi yang kuat. Dalam
rangka kepraktisan analisis, pranata pendidikan di satu pihak dan pranata lain
di pihak lain terlihat bahwa saat ini dirasakan adanya kesenjangan dengan
pranata lain. Dngan kata lain telah terjadi kesenjangan antara sekolah dengan
masyarakat.
Sekolah
sebagai pendidikan formal, lahir karena pertimbangan pemikiran efisiensi dan
efektivitas dalam pemberian pendidikan kepada seluruh anggota masyarakat.
Sekolah ini lahir dari, oleh, dan untuk masyarakat bersangkutan. Oleh karena
itu sekolah harus selalu mengikuti haluan dari masyarakat yang bersangkutan,
baik tercermin dalam falsafah dan tujuan pendidikan, kurikulum maupun
pengelolaannya.
Dalam
sejarah perkembangan sekolah hal-hal diatas telah terdemokrasi dengan baik.
Bahkan dalam berbagai hal sekolah telah mampu memimpin di depan masyarakat
dalam berbagai bentuk pembaharuan sosial. Akan tetapi akhir-akhir ini sekolah
dinilai terjadi kesenjangan dengan masyarakatnya. Sekolah telah menjadi benda
“asing” dalam masyarakat, yang seolah-olah harus disingkirkan. Sekolah
cenderung arogan terhadap masyarakat, sebaliknya masyarakat kurang peduli
terhadap sekolah. Adanya berbagai kesulitan yang dihadapi sekolah di
masyarakat, adanya keengganan masyarakat untuk menggunakan fasilitas sekolah,
dan lain-lain adalah beberapa bukti adanya kesenjangan ini.
Dalam
banyak hal sekolah juga dinilai telah tertinggal dari masyarakatnya. Kini
sekolah banyak belajar dari masyarakat. Hal ini karena berbagai inovasi khususnya
dalam bidang teknologi, telah lebih dahulu terjadi di dalam masyarakat daripada
di sekolah. Hal ini sebenarnya adalah sesuatu yang wajar, mengingat sekolah
hanyalah salah satu pranata yang ada dalam masyarakat diantara empat pranata
yang lain. Selain itu masyarakatlah yang memiliki berbagai sumber daya yang
memungkinkan untuk mengembangkan berbagai inovasi. Sedangkan sekolah hanya
berperan serta untuk mencetak manusia yang berkepribadian inovatif, meskipun
dalam banyak hal dapat pula atau harus sebagai inovator.
Sehubungan
dengan hal itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengakrabkan sekolah dengan
masyarakat. Beberapa hal yang telah dilakukan antara lain Komite Sekolah,
adanya berbagai tuntutan finansial terhadap pembangunan kelengkapan sekolah,
sistem magang, KKN, PKL, dan lain-lain. Akan tetapi dalam banyak hal, khususnya
yang dilakukan di sekolah, masih bersifat formalitas atau bahkan “upacara”.
Belum ada formula yang mampu mengatasi persoalan ini.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Lingkungan pendidikan merupakan suatu
komponen sistem yang ikut menentukan keberhasilan proses pendidikan. Pernyataan
ini emperoleh dukungan teoritis maupun empiris oleh pakar pendidikan.
Lingkungan secara umum diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lainnya.
Dasar tanggung jawab Lingkungan
Pendidikan keluarga terhadap pendidikan anaknya meliputi hal-hal berikut ini:
a)
Motivasi cinta kasih
yang menjiwai hubungan orang tua dengan anak. Cinta kasih ini mendorong sikap
dan tindakan untuk menerima tanggung jawab dan mengabdikan hidupnya untuk sang
anak.
b)
Motivasi kewajiban
moral, sebagai konsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya. Tanggung
jawab moral ini meliputi nilai-nilai religius spiritual untuk memelihara
martabat dan kehormatan keluarga.
Dasar pendidikan sekolah akan pendidikan
meliputi tiga hal, yaitu:
a)
Tanggung jawab formal kelembagaan
sesuai dengan fungsi dan tujuan yang ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan
yang berlaku (perundangan dalam pendidikan);
b)
Tanggung jawab keilmuan
berdasarkan bentuk isi, tujuan, dan jenjang pendidikan yang dipercayakan kepadanya
oleh masyarakat dan negara.
c)
Tanggung jawab
fungsional adalah tanggung jawab profesional pengelola dan pelaksanaan
pendidikan yang menerima ketetapan ini berdasarkan ketentuan-ketentuan
jabatannya.
Kalau dianalisis paling tidak ada 5
pranata sosial yang terdapat dalam sistem masyarakat, yaitu:
1. Pranata
pendidikan
2. Pranata
ekonomi
3. Pranata
politik
4. Pranata
teknologi, dan
5. Pranata
moral atau etika
DAFTAR
PUSTAKA
Munib,Achmad.2010. Pengantar Ilmu Pendidikan .Semarang.Unnes
Press