Teori Kepribadian Jung

23.24

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Carl Gustav Jung lahir pada tanggal 26 Juli 1875 di Kesswil dan meninggal pada tanggal 6 Juni 1961 di Kusnacht, Swiss. Ia lulus dari fakultas kedokteran universitas Basle pada tahun 1900. Tahun 1906 ia mulai tulis menulis surat dengan Freud hingga tahun 1913. Tahun 1907 pertemuan pertama dengan Freud yang terjadi di Wina membuat tali persaudaraan antara mereka. Freud begitu menaruh kepercayaan pada Jung, sehingga Jung dianggap sebagai seorang yang patut menggantikan Freud di kemudian hari.
Jung terkenal dengan pengetahuannya tentang simbolisme dalam tradisi mistik, seperti Gnostisisme, Alkemi, Kabala dan tradisi-tradisi serupa dalam agama Hindu dan Buddha. Ia adalah orang yang bisa mengetahui sisi alam bawah sadar yang memperlihatkan diri dalam wujud-wujud simbolik.
Berbeda dengan teori Freud tentang kepribadian yang lebih bersifat mekanistis dan berdasar ilmu alam, konsep analitis Jung mengenai kepribadian menunjukkan usahanya untuk menginterpestasikan tingkah laku manusia dari sudut filsafat, agama dan mistik.
 Sebagai penulis, Jung sangat produktif. Tulisannya banyak dan bidang orientasinya luas, sedang pendapatnya selalu berkembang. Oleh karena itulah maka teori Jung sebagai kesatuan tidak mudah dipahami. Bila disederhanakan, teori tersebut dapat dimengerti dalam rangka struktur, dinamika, serta perkembangan kepribadian (psyche).
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan kepribadian menurut Carl Gustav Jung?
2.      Bagaimana implementasi teori Carl Gustav Jung dalam konseling?
3.      Apa saja kritik terhadap teori Carl Gustav Jung?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui perkembangan kepribadian menurut Carl Gustav Jung.
2.      Menerapkan teori Carl Gustav Jung dalam konseling
BAB 2
PEMBAHASAN
A.    Perkembangan Kepribadian
Tahap-Tahap Perkembangan
Jung mengelompokkan tahap-tahap hidup menjadi empat periode. Dia membandingkan perjalanan hidup dengan perjalanan matahari melintasi langit, dan menganggap terang matahari sebagai representasi dari kesadaran. Empat tahap itu antara lain:
1.        Masa Kanak – Kanak
Jung membagi masa kanak-kanak menjadi tiga subtahapan:
a.       Fase anarkis, dicirikan oleh kesadaran yang khaos dan sporadius. “pulau-pulau kesadaran” mungkin sudah hadir dalam diri, namun hanya sedikit saja hubungan atau mungkin tidak ada diantara pulau-pulau itu. Pengalaman-pengalaman fase anarkis kadang-kadang memasuki kesadaran sebagai imaji-imaji primitive, tidak sanggup diverbalkan secara akurat.
b.      Fase monarkis, dicirikan oleh perkembangan ego dan oleh permulaan pemikiran logis dan verbal. Selama waktu ini, anak – anak mulai melihat dirinya dengan kata ganti orang ketiga. Pulau-pulau kesadaran mulai bertambah besar, semakin banyak, dan belum menyadari dirinya sebagai actor yang memahami (perceiver).
c.       Fase dualistik, dicirikan saat ego anak terbagi menjadi subjektif dan objektif. Anak-anak sekarang mulai menyebut diri mereka dengan kata ganti orang pertama dan menyadari eksistensi mereka sebagai individu yang berbeda. Selama periode dualistik, pulau-pulau kesadaran menjadi pulau yang bersambungan, dihuni oleh sebuah kompleks-ego yang menyadari dirinya sebagai objek sekaligus subjek (Jung, 1931/1960a).
2.        Masa Muda
Periode dari pubertas sampai paruh baya disebut masa muda. Anak muda berjuang meraih kemandirian psikis dan fisik dari orang tua mereka, menemukan belahan jiwanya, membentuk keluarga, dan merebut sebuah tempat di panggung dunia ini. Menurut Jung (1931/1960a), masa muda merupakan, atau mestinya, sebuah periode peningkatan aktivitas, kematangan seksualitas, tumbuhnya kesadaran dan pemahaman bahwa era kanak-kanak yang bebas dari masalah tidak akan pernah kembali lagi. Kesulitan utama yang dihadapi orang muda adalah menaklukan kecenderungan alamiah (yang ditemukan juga pada usia pertengahan dan tahun-tahun berikutnya) untuk mengandalkan kesadaran sempit kanak-kanak agar terhindar dari masalah-masalah yang terus mengganggu seumur hidup.
Pribadi paruh baya atau lebih tua yang terus berusaha memperjuangkan nilai-nilai masa mudanya akan menghadapi remuknya paruh hidup kedua, cacat dalam kapasitasnya untuk mencapai realisasi diri, dan ketidaksempurnaan kemampuannya untuk mencapai tujuan-tujuan baru atau mencari makna baru untuk hidup (Jung, 1931/1960a).
3.        Paruh Baya
Jung percaya bahwa hidup paruh baya dimulai kira-kira pada usia 35-40 tahun, seperti ilustrasi matahari yang melewati titik zenith dan mulai bergerak turun kecakrawala. Meskipun penurunan ini dapat menghadapkan orang-orang paruh baya kepada peningkatan kecemasan, namun hidup paruh baya juga menjadi periode potensial yang menakjubkan.
Jika orang-orang paruh baya mempertahankan nilai-nilai sosial dan moral dari hidup mereka sebelumnya, maka mereka menjadi sangat kolot dan fanatik dalam upayanya mempertahankan daya tarik fisik dan ketangkasan mereka. Ketika menemukan bahwa idealisme mereka mulai bergeser, mereka bisa berjuang dengan penuh rasa putus asa untuk mempertahankan penampilan dan gaya hidup masa muda. Kebanyakan dari kita (Jung, 1931/1960a, hlm. 399), tidak siap “mengambil langkah maju dalam kehidupaan senja, namun yang lebih buruk lagi, kita mengambil langkah ini dengan asumsi keliru bahwa kebenaran dan ideal kita akan mendukung kita meskipun… . kita tidak dapat hidup dalam kehidupan senja berdasarkan program kehidupan fajar, karena apa yang besar dalam kehidupan fajar akan menjadi kecil dalam kehidupan senja, dan apa yang benar dalam kehidupan fajar akan menjadi dusta dalam kehidupan senja”.
Bagaimana kehidupan paruh baya ini dapat sampai pada kepenuhannya? Orang-orang yang menjalani masa muda mereka tanpa nilai-nilai kanak-kanak ataupun nilai masa muda akan siap untuk mengembangkan kehidupan paruh baya dan dapat hidup maksimal di tahapan ini. Mereka sanggup menyerahkan tujuan-tujuan ekstraversi masa muda mereka dan bergerak ke arah perluasan kesadaran secara introversi. Kesehatan psikologis mereka tidak dikembangkan oleh keberhasilan dalam bsinis, prestise di masyarakat ataupun kepuasan dengan kehidupan keluarga. Mereka harus menatap masa depan dengan antisipasi dan harapan, menghentikan kehidupan masa muda dan menemukan pemaknaan baru di periode paruh baya. Langkah ini sering kali, namun tidak selalu mensyaratkan orientasi religius yang matang, khususnya keyakinan kepada hidup sesudah meninggal (Jung, 1931/1960a).
4.        Usia Senja
Seiring dengan senja kehidupan yang semakin mendekat, manusia mengalami penyusutan kesadaran sama seperti terang dan kehangatan matahari senja terus merosot. Jika di kehidupan sebelumnya manusia takut pada kehidupan, maka sekarang dan selanjutnya mereka takut pada kematian. Rasa takut pada kematian adalah tujuan hidup dimana hidup hanya dapat dipenuhi saat kematian dilihat dalam terang ini. Jung menulis (1934),

Umumnya kita menggantungkan masa lalu kita dan tetap terperangkap dalam ilusi masa muda. Menjadi tua berarti menjadi tidak popular. Tampaknya banyak orang tidak sadar bahwa keinginan untuk tidak menjadi tua sama absurdnya dengan keinginan untuk mengembangbiakkan sepatu anak-anak. Manusia tiga puluh tahun yang masih terperangkap dalam sifat kanak-kanak akan menjadi anak muda yang kerdil—apakah itu menyenangkan? Belum lagi jika dia kehilangan gaya hidup dan mengalami gangguan psikologis. Seorang muda yang tidak berjuang dan menaklukkan hal-hal ini telah kehilangan bagian terbaik masa mudanya. Begitu pula seorang yang tua namun tidak tahu bagaimana cara mendengarkan rahasia sungai kehidupan ini, sama seperti orang yang menjatuhkan diri dari puncak gunung ke lembah, menjadi tidak masuk akal. Mungkin dia menjadi mumi spiritual namun, sebenarnya tidak memiliki apa-apa kecuali relik-relik masa lalu yang kolot (Jung, 1934/1960, hlm 407).

Kebanyakan pasien Jung adalah orang-orang paruh baya dan berusia senja, dan banyak dari mereka menderita kenangan masa lalu, bergantung dengan putus asa kepada tujuan dan gaya hidup masa sebelumnya, dan berjalan mengikuti gerak hidup tanpa tujuan. Jung memperlakukan orang-orang ini dengan membantu mereka menetapkan tujuan-tujuan baru dan menemukan makna dalam hidup dengan pertama-tama menemukan makna kematian. Dai sampai kepada perawatan ini melalui interpretasi mimpi, karena mimpi orang-orang tua sering kali dipenuhi oleh simbol-simbol kelahiran-kembali seperti perjalanan-perjalanan panjang atau perubahan-peruhan dalam lokasi. Jung menggunakan simbol-simbol ini dan simbol-simbol lain untuk menentukan sikap bawah sadar pasien terhadap kematian dan membantu mereka menemukan filksafat hidup yang bermakna bagi mereka (Jung, 1934/1960).
5.        Realisasai-Diri
Kelahiran-kembali secara psikologis, disebut juga realisasi-diri atau individualisasi, merupakan proses untuk menjadi seorang individu atau pribadi seutuhnya (Jung, 1939/1959, 1945/1953). Psikologi analitik pada esensinya merupakan psikologi mengenai hal-hal yang berlawanan, dan realisasi diri adalah proses untuk mengintregasikan kutub-kutub yang berlawanan dalam satu individu tunggal yang homogen. Proses “menjadi diri sendiri” berarti seseorang memiliki semua komponen psikologis yang berfungsi dalam kesatuan, dengan melewati suatu proses psikis yang memanusiakannya.
Realisasi diri sangat jarang dan bisa dicapai hanya oleh orang-orang yang sanggup mengasimilasikan alam bawah sadar mereka ke dalam kepribadian total mereka. Menguasai alam bawah sadar adalah proses sulit yang menuntut keberanian untuk menghadapi sifat jahat shadow dan daya tahan yang lebih besarr untuk menerima sisi feminim atau maskulin pribadinya. Proses ini hampir tidak pernah bisa dicapai sebelum paruh baya sampai laki-laki dan perempuan sanggup menghilangkan ego sebagai fokus dominan kepribadiannya dan menggantinya dengan self. Pribadi yang merealisasikan diri harus mengizinkan self bawah sadarnya menjadi inti kepribadiannya. Meluaskan kesadaran hanya akan meluaskan ego, dan perluasan seperti ini hanya menghasilkan pribadi satu sisi yang kehilangan percikan jiwa kepribadiannya. Pribadi yang merealisasikan diri didominasi bukan oleh proses bawah sadar maupun ego alam sadar namun berhasil mencapai keseimbangan di antara semua aspek kepribadiannya.
Manusia yang merealisasikan dirinya sanggup mengembangkan dunia eksternal maupun internal mereka. Tidak seperti individu yang terganggu secara psikologis, mereka hidup di dunia nyata dan melakukan konsesi yang dibutuhkan dalam hal itu. Namun begitu, tidak seperti manusia rata-rata, mereka sangat menyadari proses regresif yang memimpinnya kepada penemuan-diri. Dengan melihat imaji-imaji bawah sadar sebagai materi potensial bagi kehidupan psikis yang baru, orang-orang yang merealisasikan diri menyambut imaji-imaji tersebut ketika muncul dalam mimpi-mimpi dan refleksi-refleksi instropektif mereka (Jung, 1939/1959, 1945/1953).
Metode Investigasi Carl Jung
Jung menatap jauh melampaui psikologi dalam pencarian datanya ketika membangun konsepsi tentang kemanusiaannya. Dia tidak menolak ketika dituduh sudah berpetualang ke disiplin ilmu lain, seperti sosiologi, sejarah, antropologi, biologi, fisika, fiologi, agama, mitologi, dan filsafat. Akan tetapi hipotesis-hipotesis psikologi analitik Carl Jung yang ia kembangkan dari berbagai disiplin ilmu itu antara lain:
1.    Tes Asosiasi Kata
Jung bukan orang pertama yang menggunakan tes asosiasi kata, namun dia dapat dianggap memberikan kontribusi besar bagi pengembangan dan penyempurnaannya. Awalnya dia menggunakan teknik ini pada 1903 ketika masih menjadi psikiater muda di Burgholtzli, dan dia mengajarkan tes asosiasi kata ini selama perjalanannya besama Sigmund Freud ke Amerika Serikat pada 1909. Namun dia jarang menggunakannya dalam karier selanjutnya. Dan meskipun dia sudah tidak begitu peduli namun, tes ini terus dikaitkan dengan nama Jung.
Tujuan awal menggunakan tes asosiasi kata adalah untuk membuktikan validitas hipotesis Freud bahwa alam bawah sadar beroperasi sebagai sebuah proses yang otonom. Namun tujuan dasar tes asosiasi kata dalam Jungian dewasa ini adalah untuk menyingkapkan kompleks-kompleks yang bernada perasaan. Dalam pelaksanaan tes, Jung biasanya menggunakan sebuah daftar pertanyaan tentang sekitar 100 stimulus yang dipilih dan disusun dengan saksama untuk menghilangkan reaksi emosi yang tidak diinginkan. Dia meminta pengisi tes merespons setiap kata stimulus dengan kata pertama yang muncul di benaknya. Jung mencatat setiap respons verbal, waktu yang diperlukan untuk membuat respons, kecepatan bernafas, dan respon kulit arinya. Biasanya dia akan mengulangi eksperimen untuk menentukan konsistensi antara tes pertama dan tes ulangannya.
Tipe-tipe reaksi tertentu dapat menunjukkan bahwa kata stimulus sudah menyentuh suatu kompleks. Respon-respon kritis ini meliputi: napas yang tertahan, perubahan dalam konduktivitas elektris kulit, reaksi-reaksi yang tertunda, respons–respons yang beragam, pengabaian intruksi, ketidaksanggupan mengucapkan kata yang umum, kegagalan merespons, dan inkonsistensi hasil tes pertama dan tes ulangnya. Respons-respons signifikan lain mencakup pipi yang memerah, tergagap-gagap, tertawa, batuk-batuk, suara geraman, gerakan tubuh berlebih-lebihan, dan pengulangan kata-kata stimulus. Salah satu atau kombinasi dari respons-respons ini bisa mengindikasikan bahwa sebuah kompleks sudah terjadi (Jung, 1935/1968; Jung & Riklin, 1904/1973).
2.    Analisis Mimpi
Tujuan interprestasi mimpi Jungian adalah menyingkapkan elemen-elemen bawah sadar personal dan kolektifnya, dan mengintegrasikan keduanya dalam kesadaran dalam rangka memfasilitasi proses realisasi diri. Terapis Jungian harus mengerti bahwa mimpi sering kali berupa kompensasi. Artinya, perasaan dan sikap yang tidak terekspresikan selama kehidupan di alam sadar akan menemukan pemaknaannya lewat proses mimpi.
Jung merasa bahwa mimpi-mimpi tertentu menawarkan bukti bagi keberadaan alam bawah sadar kolektif. Mimpi-mimpi ini mencakup mimpi-mimpi besar, yang memiliki makna istimewa bagi semua orang; mimpi-mimpi tipikal, yang umum bagi kebanyakan orang; dan mimpi-mimpi paling awal yang bisa diingat.
Dalam memories, Dreams, Reflections, Jung (1961) menulis tentang sebuah mimpi besar yang dialaminya selama berlayar ke Amerika Serikat bersama Freud pada 1909.
Jenis kedua mimpi kolektif adalah mimpi-mimpi tipikal, yaitu mimpi yang umum bagi kebanyakan orang. Mimpi-mimpi ini mencakup figur-figur arketipal, seperti ibu, ayah, Tuhan, iblis, atau laki-laki tua bijak.
Kategori ketiga mencakup mimpi-mimpi paling awal yang bisa diingat. Mimipi-mimpi ini dapat dilacak kembali sampai usia tiga atau empat tahun, dan mengandung imaji-imaji dan motif-motif mitologis dan simbolis yang tidak mungkin berasal dari pengalaman individual anak.
3.      Imajinasi aktif
Tujuan dari imajinasi aktif adalah menyingkapkan imaji-imaji arketipal yang muncul dari alam bawah sadar. Jung percaya bahwa imajinasi aktif lebih banyak memiliki keuntungan daripada analisis mimpi karena imaji-imajinya dihasilkan selama kondisi jiwa yang sadar sehingga menjadikan imaji lebih jelas dan dapat direproduksi.
4.      Psikoterapi
Jung (1931/19554b) mengidentifikasikan empat pendekatan dasar terapi, merepresentasiakn empat tahap perkembangan dalam sejarah psikoterapi.tingkat pertama adalah pengakuan tentang rahasia patogenik. Ini adalah metode katarsis yang hanya perlu membagi rahasia-rahasia dan unek-unek. Tingkat kedua melilabatkan interprestasi, penjelasan, dan pencerahan. Pendekatan ini digunakan Freud, memberikan pasien beberapa pemahaman tentang sebab-sebab neurosis mereka namun tidak memampukan mereka menyelesaikan masalah-masalah sosial. Tingkat ketiga , adalah pendekatan yang digunakan Adler, mendidik pasien sebagai makhluk sosial. Tingkat keempat, transformasi. Dengan istilah tranformasi dia bermaksud bahwa perapis pertama-tama harus bisa bertransformasi menjadi manusia sehat, menjalani terlebih dahulu proses psikoterapi itu sendiri. Tingkat keempat ini khusus digunakan terhadap pasien yang berada di paruh kedua hidup, yang mulai resah dengan perealisasian dorongan batinnya, dengan masalah-masalah moral dan religiusnya, dan dengan cara menemukan sebuah filsafat hidup yang dapat menyatukan kepribadiannya.
Tujuan akhir terapis Jungian adalah membantu pasien-pasien neurotik menjadi sehat dan mendukung orang sehat untuk bekerja secara independen menuju realisasi-diri.
B.     Implementasi dalam Konseling
Selama tahap awal perawatan ada kebutuhan untuk pengakuan. Pengakuan seperti itu biasanya disertai oleh pelepasan emosional, yang oleh Jung dipandang sebagai tujuan dari metode katarsis (istilah yang dikembangkan Breuer dan Freud). Namun Jung menunjukkan bahwa pelepasan emosional dalam dirinya sendiri, bukan terapi melainkan ledakan emosional dan menjadi proses penyembuhan bagi diri sendiri. Bagi Freud, kesadaran akan pemahaman dan wawasan intelektual merupakan katarsis yang efektif. Sementara Jung menekankan kehadiran terapis dalam mendukung klien, secara moral dan spiritual, serta intelektual dalam proses terapi.
Proyeksi dan transferensi memainkan peran penting dalam analisis Jungian, tetapi Jung menambahkan konsep transferensi dari Freud. Transferensi bukan hanya terdahap orang-orang penting di masa lampau, melainkan tipikal citra yang diproyeksikan analisis. Jung juga melihat komponen transferensi seksual sebagai upaya simbolis pada sebagian klien sebagai upaya untuk mencapai integrasi yang lebih tinggi dalam kepribadian.

C.    Evaluasi Teori Jung
Carl Jung melanjutkan tulisan-tulisannya untuk menarik perhatian mahasiswa-mahasiswa humaniora. Meskipun kualitas tulisannya subjektif dan filosofis, psikologi Jungian telah menarik perhatian banyak orang, baik orang awam maupun para profesioanal.Bagaimanapun Jung mengaggap dirinya sebagai seorang ilmuwan dan merasa yakin bahwa kajian ilmiah mengenai agama, mitologi, dongeng, dan khayalan filodofi, tidak membuatnya menjadi sesuatu yang mistis dibandingkan dengan kajian Freud mengenai seks yang membuat Freud menjadi seseorang dengan kelainan seksual (Jung, 1975).
Meskipun demikian, seperti teori-teori pada umunya, psikologi analitis juga harus dapat memnuhi enam criteria teori yang bermanfaat. Pertama, suatu teori yang bermanfaat harus menghasilkan hipotesis yang bias diuji dan kajian yang deskriptif. Kedua, sebuah teori harus mempunyai kapasitas untuk diverifikasi atau diulang. Tetapi, sama seperti teori Freud, hampir mustahil untuk melakukan verifikasi pada teori Jung. Teori utama Jung mengenai ketidaksadaran kolektif merupakan konsep yang sangat sulit untuk diuji secara empiris.
Sebagian besar bukti mengenai konsep dari arketipe dan ketidaksadaran kolektif berasal dari pengalaman mendalam yang dialami oleh Jung. Hal ini diakuinya, bahwa sulit berkomunikasi dengan orang lain sehingga penerimaan orang mengenai konsep ini lebih berdasarkan keyakinan daripada bukti empiris. Jung (1961) mengklaim bahwa “pernyataan-pernyataan arketipe itu berdasarkan prasyarat yang  instingtif dan tidak ada hubngannya dengan suatu alas an tertentu, tidak berdasarkan rasional dan tidak juga bias dibuang dalm argumentasi yang masuk akal”. Pernyataan seperti itu bisa diterima oleh seniman atau ahli teologi, tetapi tidak mungkin diterima oleh peneliti ilmiah yang mengedepankan rancangan penelitian dan rumusan hipotesis.
Sebaliknya, ada bagian dari teori Jung yang terkait dengan penggolongan dan ilmu bentuk tubuh (tipologi), yaitu mengenai fungsi dan sikap, yang bisa dikaji serta diuji dan sudah menghasilkan sejumlah penelitian. Myers-Briggs Type Indicator sudah menghasilkan banyak peneliti. Oleh karena itu, kami member nilai rata-rata untuk teori Jung atas kemampuannya menghasilkan penelitian terkait.
Ketiga, suatu teori yang bermanfaat perlu mengorganisir pengamatan ke dalam suatu kerangka yang bermakna. Psikologi analitis merupakan teori yang unik karena menambahkan suatu dimensi yang baru dalam teori kepribadian, yaitu ketidaksadaran kolektif. Aspek dari kepribadian manusia yang berhadapan dengan hal-hal mistis, misterius, dan parapsikologis itu tidak disinggung oleh hampir semua teori-teori kepribadian. Meskipun ketidaksadaran kolektif bukan satu-satunya penjelasan bagi suatu fenomena dan konsep lain dapat dirumuskan untuk menjelaskan semuanya. Jung adalah satu-satunya ahli teori kepribadian modern yang membuat suatu usaha serius untuk cakupan yang luas mengenai aktivitas manusia di dalam suatu kerangka teoretis.Karena kemampuannya yang baik untuk mengorganisir pengetahuan inilah yang membuat Jung diberi penilain rata-rata.
Kriteria yang keempat untuk teori yang bermanfaat adalah kemampuan teori tersebut untuk diterapkan. Apakah teori dapat membantu terapis, guru, orang tua, atau yang lain dalam memecahkan permasalahan sehari-hari? Teori mengenai tipe atau sikap psikologis dan MBTI digunakan oleh banyak praktisi klinis, tetapi kegunaan dari sebagian besar psikologi analitis terbebas untuk terapis yang menggunakan jajaran dasar secara berkelanjutan.Konsep ketidaksadaran kolektif tidak mudah diteliti secara empiris, tetapi mungkin berguna dalam membantu orang memahami mitos, budaya dan melakukan penyesuaian terhadap trauma-trauma hidup.Secara keseluruhan, teori Jung dinilai rendah untuk kemampuan penerapan.
Psikologi Jung bukanlah teori sederhana, tetapi kepribadian manusia juga tidak sederhana. Bagaimanapun juga, oleh karena teorinya lebih mengarah pada ketidakefektifan daripada kegunaanya, maka nilai kesederhanaan pada teori ini rendah. Teori Jung bersifat kompleks dengan ruang lingkup yang luas. Hal ini disebabkan kecenderungan Jung untuk mencari-cari data dari bermacam disiplin ilmu dan kesediaannya untuk menjelajah sendiri ketidaksadarannya, bahkan sampai bawah level pribadi.  Hukum parsimony menyatakan, “ketika terdapat dua teori yang manfaatnya setara, teori yang lebih sukain adalah teori yang sederhana”. Sebenarnya, tentu saja tidak pernah ada teori yang selalu sama, namun teori Jung menambah suatu dimensi kepribadian manusia, tidak terlalu banyak berurusan dengan yang lain sehingga menjadi lebih rumit daripada yang diperlukan.


BAB 3
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Perkembangan kepribadian menurut Jung dibagi menjadi empat tahap, yaitu masa kanak-kanak, masa muda, paruh baya, dan usia senja.
2.      Metode-metode penyelidikan yang dipakai Jung adalah tes asosiasi kata, analisis mimpi, imajinasi aktif, dan psikoteri.
3.      Banyak kritik tentang teori yang dikemukakan Jung, diantaranya adalah gagasannya yang hampir mustahil diverifikasi atau difalsifikasi dan teorinya yang kurang efisien dan efektif.
B.     Saran
Ketika membaca teori yang dikemukakan Jung, janagn menelan mentah-mentah teori yang disampaikan. Perlu dikaji implementasinya terhadap dunia konseling.



DAFTAR PUSTAKA

You Might Also Like

0 komentar

SUBSCRIBE

Like us on Facebook